Sejarah menunjukkan, kain lurik sudah ada sejak kurang lebih 3.000 tahun silam. Beberapa peninggalan sejarah memperlihatkan bahwa masyarakat tradisional membuat lurik dengan cara menenun sebagaimana yang terlihat pada situs sejarah di Gilimanuk, Melolo, Sumba Timur, Gunung Wingko, Yogyakarta dan lain sebagainya. Di sana ditemukan cap tenunan, alat pemintal, dan bahan tenun lurik.
Kain lurik juga dikenakan pada area terakota asal Triwulan di Jawa Timur yang dibuat di abad 15 Masehi, sehingga menunjukkan bahwa lurik sudah dipakai pada masa itu. Dari berbagai bukti sejarah, diketahui bahwa daerah penyebaran lurik adalah Yogyakarta, Solo dan Tuban.
Kata "lurik" berasal dari bahasa Jawa kuno, yakni "lorek" yang berarti lajur, garis, atau belang. "Lurk" dapat pula berarti corak. Pada dasarnya lurik memiliki tiga motif dasar, yaitu motif lajuran dengan corak garis-garis panjang searah helai kain, motif pakan malang yang memiliki garis-garis searah lebar kain, dan motif cacahan dengan corak-corak kecil. Walaupun terlihat sederhana, sesungguhnya dibutuhkan keterampilan dan kejelian dalam memadukan warna serta susunan garis agar menghasilkan kain lurik yang serasi, indah dan mengagumkan.
Sarat filosofi
Sarat filosofi
Lurik juga sarat makna dan tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan sehingga keberadaannya selalu mengiringi berbagai upacara adat. Filosofi dan makna lurik tercermin pada motif dan warnanya. Ada corak yang dianggap sakral dan menjadi sumber nasihat, petunjuk, dan harapan. Contohnya kain lurik gedog madu, yang digunakan dalam upacara mitoni, atau siraman. Ada juga kain lurik motif lasem yang digunakan sebagai perlengkapan pengantin pada zaman dahulu.
Pada masa lalu, kain lurik ditenun menggunakan benang katun yang dipintal dengan tangan. Benang tersebut ditenun menjadi selembar kain dengan alat yang disebut gedog dan dibuat dalam dua warna saja, hitam dan putih dengan corak garis atau kotak. Akibatnya, lurik terkesan tegas dan maskulin.
Saat ini banyak kain lurik diproduksi menggunakan alat tenun bukan mesin, atau biasa disebut ATBM. Alat yang lebih modern ini dapat menghasilkan kain lebih lebar. Warna dan motif yang diciptakan juga beraneka ragam sehingga menjadikan penggunaan kain lurik tidak terbatas pada kepentingan adat saja. Kesan maskulin pun bisa diminimalkan dengan permainan warna.
Kini, kain lurik banyak dimanfaatkan untuk ornamen fashion dan interior, seperti dompet, tas, sandal, topi, sarung bantal, taplak meja, dan sebagainya. Selain itu, sekarang juga terdapat pakaian-pakaian perempuan yang terbuat dari bahan lurik sehingga mempercantik penampilan kaum hawa. Pantas jika lurik menjadi salah satu kain unggulan Nusantara.
Sumber: Majalah Sekar
Sumber: Majalah Sekar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar